Senin, 19 Maret 2012

Bahasa Kalbu Abang Edo

Akhirnya kemaren sore abang edo mau memakai celana!,

Saya selalu berusaha untuk menjadi ayah yang baik dan selalu berusaha membuka ruang komunikasi dalam berbagai kesempatan sehingga anak-anak saya bisa belajar mandiri, konsekuen dan memiliki karakter yang kuat.

Mbak kanza dengan segala keistimewaannya, bang edo dengan segala tingkahlakunya serta dek neifa dengan ‘kecentilannya’, semua memiliki ke-khas-an masing-masing.

Abang edo adalah pribadi mandiri dan memiliki sifat kepemimpinan yang kuat plus kecerdasan intrapersonal yang sagat bagus, yang membuat saya mengambil kesimpulan bahwa abang edo pasti bisa sekolah jauh dari orang tua, dan untuk membuktikan hipotesa saya itulah ia kini belajar dipesantren.

Banyak yang mendukung langkah yang saya ambil namun lebih banyak pihak yang menentang, dan kini sudah 9 (Sembilan) bulan abang edo sehat dan kian mandiri, kekhawatiran kami kini hilang satu persatu berganti dengan optimism bahwa langkah kami memang tepat.

Awal bulan ini abang edo dikhitan, yang sebenarnya berawal dari tante yang hendak menikah lalu mengajak abang edo khitan supaya acara resepsi lebih semarak, dan ternyata abang edo tidak berkeberatan, padahal kita tau betapa sakit khitan itu.

Saya sebenarnya hanya memberikan kesempatan saja kepada abang edo untuk konsekuen terhadap janjinya walau saya juga harus siap dengan segala resikonya, benar saja, edo begitu trauma dengan rasa sakit yang ia terima sehingga walaupun telah dua minggu berselang ia tetap tidak mau memakai celana, kemana-mana ya hanya ‘gondal-gandul’ begitu...

Setelah berbagi cerita dengan abang edo barulah terungkap duduk persoalannya,

Pertama, abang edo masih ingin dirumah, ia belum bersedia kembali kepesantren.

Kedua, ia memiliki kesimpulan sendiri bahwa kelak akan disunat lagi saat sudah belajar di sekolah dasar.

Ketiga, ia tidak tahan dengan rasa sakit atau trauma.

Saya kemudian menjelaskan kepada abang edo, bahwa kami ayah dan bunda tidak akan marah jika memang abang edo belum mau ke sumedang, kami memaklumi dan mengerti keputusan abang edo bahkan saya jelaskan tidak ada hubungan antara memakai celana dan kepergian kepesantren.

Tidak pakai celana adalah berhubungan dengan rasa malu, jadi tidak ada alas an untuk tidak memakai celana, sayangnya edo masih keukeuh dengan pendiriannya.

Akhirnya kemaren sore kami memutuskan mengakhiri masa toleransi edo tak bercelana , tetapi tetap memakai cara logika yaitu membawa edo ke dokter dan agar dokter ikut serta menasihati abang edo.

Abang edo menolak keras memakai celana dan kami terpaksa memeganginya hingga akhirnya celana terpasang dan berhasil membungkus bagian tubuh abang yang baru disunat. Edo tetep manangis keras sebagai wujud rasa malunya,

“Ayah mau Tanya bang, emang sakit?”. Tanya saya sambil menahan tawa melihat abang yang tak bisa menyembunyikan rasa malunya.

“Enggak…”

“Lha terus kenapa nangis?”

“He..he..he..he” Akhirnya tangis abang langsung berubah tawa.
Rasa trauma yang kian hari kian menumpuk diimajinasi abang edo sehingga ia menganggap celana adalah sumber sakit, sekali lagi saya menerangkan tentang apa itu imajinasi yang tidak selalu sama dengan kenyataan.

Syukurlah dokter menilai semua baik-baik saja dan ia berpesan kepada bag edo agar mau mandi dan berendam dengan ‘peka’, abang edo mengangguk pasti sabil terus tersipu malu,

“Kirain mau disunat lagi..”. gumamnya lirih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar