Kamis, 05 Agustus 2010

Edward Yasser Najih

Nama itu yang kami berikan kepada anak keduaku, ia lahir di Rumah Sakit melalui bedah cesar tanggal 17 Maret tiga tahun yang lalu, hanya beberapa hari sepulangku dari Sumatra Barat.

Waktu itu aku sedang mendapatkan tugas peliputan gempa, berbagai kabupaten dan kota aku datangi untuk melihat mereka yang tertimpa bencana. walau begitu aku masih sempat juga meluangkan waktu sejenak bersantai dipinggiran danau singkarak yang terkenal itu.

Namun entah mengapa selama berada di sumbar itu, aku teringat terus dengan istriku yang sedang hamil besar, padahal saat itu usia kandungan baru akan memasuki bulan kedelapan, tetapi aku selalu dihantui perasaan jika istriku akan melahirkan dalam waktu dekat ini. Aneh!!

Begitu pesawat yang membawaku mendarat dibandara, aku berlari ke arah kerumunan taksi yang mangkal, aku tak peduli dengan banyaknya cerita yang kudengar tentang kejahatan yang dilakukan oleh oknum supir taksi, yang kuinginkan hanya segera sampai rumah.

Memang benar cerita itu, sebab begitu aku masuk mobil taksi, sang sopir menelpon seseorang, ia menggunakan salah satu dialeg daerah yang kental, aku tak tahu apa yang ia katakan yang jelas mobil yang kutumpangi ini tak melaju kearah lauar bandara, tetapi memutar kebelakang area parkir yang gelap dan sepi.

Aku membaca gelagat aneh ini dan segera memutar otak, akhirnya aku berkata;

"Wah capek banget, habis melakukan peliputan gempa nih". kataku sambil merenggangkan badan dan menarik kartu persku agar terlihat oleh sopir itu...

Upayaku berhasil, karena aku melihat sopir itu jadi ragu dan sedikit khawatir, pokoknya aku bisa membaca pikirannya waktu itu...

Benar saja, tak lama kemudian taksiku berhenti, lalu diseberang ada sekelompok orang yang sedang menunggu, aku hitung ada 6 orang, tampangnya sangar dan masing-masing memegang botol minuman, aku bisa pastikan itu minuman beralkohol, kan gak mungkin preman minum air kemasan! apa lagi minum jamu beras kencur!

Sopir taksiku turun dan menuju ke gerombolan itu, mereka berbincang serius sambil sesekali melihat curiga ke arahku.

Aku meraih tas ransel dan segera kuambil cameraku, aku harus mengambil gambar mereka, untunglah kameraku lumayan canggih, sehingga walau suasana gelap dan dari tempat yang jauh, aku berhasil mengambil gambar mereka.

Aku berusaha tenang dan menunggu saja apa yang akan terjadi, dan beberapa saat kemudian aku mendengar mereka beradu mulut. topiknya tentang aku, karena setengah berteriak sopir taksiku berkata begini;

" Kita jangan cari mati, dia wartawan!!".

Lalu sopir taksikupun melangkah kearahku, aku melihat ia sedikit gusar, tapi entah kepada siapa. iapun masuk mobil dan segera menutup pintu dengan keras.

Aku pura- pura rebahan dan sok cuek. mobil mulai bergerak dan sopir dengan ramah bertanya;

"Maaf pak, mau pakai argo atau carteran?".

"Apa bedanya?". tanyaku, "Tapi aku lebih setuju carteran saja lah". lanjutku

"ok. 150 lah, sampai rumah".

"setuju".

Aku sempat berfikir aneh, ketika sehabis dialog itu, ia justru menyalakan argometer taksinya.

Dua jam telah berlalu, macet dimana-mana dan saat keluar pintu tol pasar rebo, argometer telah menunjukkan angka Rp. 235.000. aku membayangkan saat sampai dirumah nanti angkanya pasti akan menembus 250 ribu.
"Ah cuek aja toh tadi aku sudah melakukan kesepakatan harga diawal".

Sesampainya di gang dekat rumah, taksi berhenti, kuraih dompet dan segera kubayarkan ongkos taksiku, kuhitung ulang. Rp. 150.000,- pas!!

Dengan tergesa, kukumpulkan tas-tas ku, kuraih dan segera bergegas jalan kerumah.

Perasaan lega dan plong luar biasa saat kusaksikan istriku tidur dengan lelapnya. aku sengaja masuk rumah dengan diam-diam agar tak mengganggunya..

Kuhilangkan penat ku dengan segera mandi, Segaaaaar......., setelah mandi tak berselang lama akupun terlelap....................................

Aku terbangun saat suara lembut istriku membangunkanku, ia bertanya kapan aku datang dan bla, bla,... banyak sekali pertanyaannya tentang sumatera barat.

lalu kemudian dengan tiba-tiba terlintas olehku tentang sejumlah uang sisa perjalananku, aku pun berusaha mencari-cari dimana dompetku berada...

Disaku celana, depan lalu belakang...tak kutemukan, di saku baju, tak ketemu!, disaku rompi, gak ada!. Aku mulai panik, jangan-jangan?!!!

"Dek, coba lihat dompet ayah di tas pinggang, kalau gak ada berarti di ransel, itu uang buat kamu semuanya, persiapan lahiran". kataku walau aku tak yakin....

Istriku mulai mencari, dan pencarian itu ia ulang hingga 3 kali, hasilnya nihil!!

Benar dugaanku, dompetku jatuh!
Hilang sudah semuanya, ATM, SIM, STNK, KTP Kartu Kredit, dan tentu saja UANG!!!

Aku hanya bisa berucap istighfar dalam kepasrahan, hilang sudah harapanku agar tatkala istriku melahirkan kelak kami tidak mengalami kendala biaya.

kami tidak mempunyai teman, sahabat, sanak ataupun keluarga yang bisa kami andalkan disaat kami mengalami kesulitan, semua kami tanggung sendiri, realitas kehidupan dikota mungkin yang menyebabkan situasi seperti ini...

Gema Adzan subuh berlalu, dan tak lama berselang pintu rumah kami ada yang mengetuknya.
"Siapa ya?, jam segini udah mau bertamu" tanyaku dalam hati.

Apa mungkin orang tuaku datang dari kampung?, tapi suaranya... bukan. Atau mertuaku? ah...masak iya? inikan rumah dia, kenapa gak masuk saja?

Ku pasang telingaku rekat-rekat, mungkin saja ia bukan tamuku, melainkan tamu rumah kontrakan disekitar kami, memang rumah tinggal kami (rumah mertua) berada di lingkungan rumah-rumah kontrakan yang saling berdempetan, sehingga sering kali kami salah sangka saat ada suara salam yang menggema, kami kira suara tamu kami namun ternyata bukan.

Sekali lagi ketukan itu berbunyi, dan kali ini lebih keras dari sebelumnya, mungkin ia fikir kami belum bangun.

"ya, sebentar". kataku setelah yakin itu memang tamu ku

"Ada perlu apa?", kalimat tanya itu meluncur berbarengan dengan tanganku memutar gagang pintu.

Dan...
"Lho, Anda sopir taksi tadi kan?", kataku lagi setengah tak percaya

"Ada apa?".

"Begini pak, tadi setelah bapak turun dari taksi, saya memperoleh penumpang lagi, eh..iya menemukan dompet ini pak, betul kan? ini punya bapak?". jelasnya

Dahiku berkerut, memang betul, dari fisik luarnya dompet itu mirip sekali dengan punyaku, kok ternyata ketinggalan di taksi, aku pikir jatuh dijalan, isinya bagaimana?. puluhan pertanyaan mencecar benakku, hingga aku lupa bahwa tuan rumah yang baik akan mempersilahkan tamunya untuk masuk rumah.

"Ooo..", kataku datar

"Tapi..., maaf pak saya tidak bertanggung jawab dengan isi dompet bapak". ungkapnya dengan lirih penuh keraguan.

Ia mengulurkan dompet itu, akupun segera menerimanya lalu kubuka dompetku dan kulihat disana tinggal selembar uang 50 ribuan, kuambil dan kuserahkan kesopir itu.

"Ini sebagai ucapan terimakasih karena telah mengantarkan dompet saya". kataku datar saja

Iya memang aku akui aku tidak cukup berterimakasih, karena aku tahu bahwa semua uangku telah diambil oleh sopir taksi itu

"Saya mohon pamit pak, sekali lagi saya minta maaf karena saya tidak tau jumlah uang bapak yang hilang, saya hanya sopir pak, jangan laporkan saya ke polisi pak, saya tahu bapak wartawan".pamitnya

Aku tercekat, tak mampu berkata-kata menjawab pamitannya..

Malam itu aku begitu lelah, sehingga jam 20.00 aku sudah 'terbang'. padahal kebiasaan ku untuk memejamkan mata adalah diatas jam 23.00. Bahkan tak jarang hingga jam 03.00 jika banyak pekerjaan tertunda, , memang akhir- akhir ini aku sibuk sekali.

"Kak,...kak bangun!". suara istriku masuk dan mengusik telingaku

"Kak,... ketubanku pecah!". suara istriku terdengar panik

Aku terjaga, dan berusaha sesegera mungkin mengumpulkan seluruh 'nyawa'ku yang masih berterbangan.

"Ya sayang, gak usah panik, kita persiapkan segala sesuatunya yah". hiburku

Segera kuambil HP dan men-dial- nomor bidan yang telah kupersiapkan sebelumnya. saat tiba-tiba terjadi sesuatu, maka akan memudahkan aku bekerjasama dengannya.

Berulang-ulang nomor itu aku panggil, namun tak ada jawaban. jam berapa ya sekarang?, oh iya, aku lupa tak melihat jam terlebih dahulu.

Ooo.. ternyata baru jam 02.00 pagi, pantas saja, pastilah bidan itu sedang dalam lelapnya.

Sekali lagi kucoba memanggil nomor itu dan...akhirnya....berhasil juga, kudengar suara diujung sana.

Tak lama berselang, kami aku dan istri segera berangkat ke tempat praktek bidan yang untungnya tak jauh dari rumah tinggalku, maka istriku mau diantar cukup pake sepeda motor saja.

Istriku tak henti-henti mengeluarkan cairan ketuban dari perutnya. Tetapi ia tak merasakan mules-mules seperti lazimnya orang yang hendak melahirkan.

"Kita tunggu dua jam lagi ya, mules apa nggak?, kalau mules berarti bagus, tetapi kalau tetep ndak mules maka kita persiapkan tindakan selanjutnya". kata bu bidan kelahiran jogja itu.

Dua jam telah berlalu, bagiku sangat sebentar, sebab aku membayangkan kalau istriku tidak dapat melahirkan normal, maka harus di cesar!

Tindakan membedah perut itu sangat besar resikonya, begitu kata orang-orang yang selama ini telah kudengar, biayanya mahal lagi, dan resiko terakhirnya adalah kematian!..

"Bagaimana bu?, ada perubahan?" Tanya bidan sejurus kemudian

Istriku hanya menjawab dengan isyarat gelengkan kepala.

"Sabar ya pak". kata bidan itu kepadaku. "kita diskusi sebentar ya". lanjutnya

Aku hanya mengangguk dan mengikuti langkah bidan untuk menjauh dari kamar istriku

"Bu, saya mengikuti saran ibu saja, janganlah saya dimintai pendapat lagi" kataku mendahului dialog kami

"Oo begitu, ya sudah, istrimu harus dirujuk ke rumah sakit, mumpung masih ada waktu, siapa tahu sesampai dirumah sakit ia akan mules-mules". terangnya

"Kalaupun tidak mules, tindakan yang akan dilakukan juga siap sewaktu-waktu" lanjutnya

"Cesar bu?". tanyaku ragu

"Iya, itu tindakan lumrah lho, ndak perlu khawatir, jangan denger apa omongan orang, amaan". katanya menerangkan seolah ia tahu ke khawatiranku

"Kita bawa ke RS F saja ya, sebab disana bisa menerima ASKESKIN". kata bu bidan yang seolah menjawab satu lagi pertanyaan besar ku tentang biaya!

Aku mengiyakan saja semua saran bidan sesuai dengan kata-kata yang pertama kuucapkan, lalu bergegas ku cari taksi dan kami berangkat bertiga, aku istri dan bidan itu.

Sesampainya di RS istriku langsung dilarikan ke ruang ICU, sementara aku segera melakukan registrasi. Selesai itu aku segera menyusul ke bilik istriku.

Ku lihat beberapa orang dokter sedang 'mengintrograsi' istriku dan melakukan pemeriksaan fisik terhadapnya.

Tanggal 17 maret

Pukul 09.00 Pagi

Seorang dokter mendatangi kami

"Maaf bu, saya akan memberikan suntik rangsangan". katanya. aku tak tahu harus bilang apa, yah sudahlah terserah saja..

Pukul 11.00

Aku sengaja keluar dari komplek rumah sakit, aku memilih salah satu warung nasi di tempat parkir yang agak jauh, aku berfikir, kalau ada apa-apa pastilah istriku akan nelpon aku...

Tapi, kenapa tak ada telpon?, ah... pasti aman terkendali...., aku segera melangkah kembali

"Bapak kemana?, saya mencari kemana-mana gak ketemu, dipanggil pake pengeras juga sudah berkali-kali" Bu bidan terus nyerocos marah

"Maaf bu, saya baru beli makan".

"Sekarang bapak ke ruang administrasi, ada berkas persetujuan operasi yang harus bapak tanda tangani". katanya

Aku melangkah ke arah ruang administrasi dengan gundah, istriku akan di cesar!

Sekembali dari ruang admiistrasi kudapati istriku tengah berbaring diatas tempat tidur beroda dengan kain warna hijau menutupi seluruh tubuhnya. Air mata tak henti dan terus menucur dari kedua matanya. aku tau ia pasti sangat sedih dengan keadaan ini.

"Yang, jangan sedih ya, tak akan ada sesuatu yang buruk, Ok". aku mencoba menyemangatinya

"Kak, aku minta maaf, jika selama ini aku melakukan kesalahan ya, rawat kanza dengan baik, jika anak kita yang ini selamat jaga ia...". kata istriku lirih hampir tak terdengar

"Hus, ngomongnya kok gitu...., istigfar dan pasrah kepada yang maha segalanya".

Tak berapa lama datang dua orang perawat dan langsung membawa istriku, selasar demi selasar terasa begitu jauh bagi langkahku.

Sesampai di depan ruang bedah ternyata kami harus menunggu, senyap begitu mengungkung kami, istriku dengan lirih terus berzikir, namun tetap saja dengan air mata yang mengalir.

Dari kejauhan kudengar langkah mendekat. seorang ibu paruh baya datang dengan menggendong anaknya.

"Ibu mau operasi ya?". tanyanya langsung ke istriku

Istriku hanya menjawab dengan senyum.

"Tenang aja bu, saya punya empat anak, semuanya sesar" .ucapnya dengan berapi "semuanya baik-baik saja" lanjutnya.

"Semua?" tanya istriku dengan berbinar.

Ternyata istriku butuh penyemangat, terimakasih Tuhan kau telah mengirimkan ibu ini, istriku pun larut dengan ibu itu dalam candaan dan gurauan. Aku sendiri masih bingung memikirkan biaya dari mana unutk membayar semua ini. Tapi sekali lagi aku harus memanipulasi mimikku agar terlihat tegar dan siap menghadapi apapun

Ibu itu sedang menunggu anaknya yang sedang menjalani operasi ke empat, anaknya tersiram kuah bakso pedagang keliling saat sedang bermain.

Ia juga bercerita tentang proses cesar yang ia jalani dari anak pertama hingga keempat.

"Ibu aslinya mana?" tanya ku

"Tegal". jawabnya medok

Mendengar cara ibu itu menjawab, istriku spontan tertawa dengan terbahak-bahak, ku lihat ibu itu kebingungan. aku berusaha menahan tawa.

"Maaf bu, jawaban ibu miriiip sekali dengan iklan di TV, dan menurut istri saya sangat lucu, logatnya sama dengan yang ibu ucapkan tadi, 'tegal' ". Aku berusaha menjelaskan

Pintu diruang tunggu terbuka, dan terlihat sesorang dengan pakaian serba hijau.

Lalu keluarlah beberapa orang perawat dengan membawa sesorang dalam balutan serba putih, dan akhirnya ku tau ternyata itu adalah anak ibu dari tegal

"Ibu Evi..." Panggil salah seorang bersergam serba hijau

"iya".aku yang menjawab

lalu istriku di dorong kedalam ruangan, aku hanya bisa menunggu di luar.

setelah duapuluh menit berlalu, pintu terbuka

"Bapak suami dari ibu evi?" tanya suster itu kepadaku, ia datang dengan menggendong bayi..

Aku lekas berdiri dan berlari mendekati perawat itu.

"Laki-laki apa perempuan bu?"

"Laki-laki pak, silahkan di adzani". jawabnya

Ku dekap bayi merah yang seang menguap dan menggeliat itu dan perlahan kudekatkan ia kepadaku sambil lantunkan asma Allah dengan penuh haru.

setelah selesai, aku bertanya tentang perihal istriku.

"Alhamdulillah baik-baik saja". jawab perawat dan ia pun beranjak dari tempat duduknya sambil menggendong 'jagoan' ku.

hari ini begitu melelahkan, baik secara fisik maupun psikis........

----------------o00o----------------------

hari ini tepat hari kelima kami 'nginep' dirumah sakit, selesai ku suapi istriku dengan menu sarapan pagi rumah sakit datanglah ibu bidan yang telah menolong kami, ia memberitahukan bahwa harii ni kami sudah boleh pulang.

"Maaf lho nak, jangan tersinggung, apa uangnya sudah ada?" tanyanya "Kalau belum, hari ini diurus saja surat-surat untuk mendapatkan askeskin, coba tanya dulu ke admininstrasi, nanti dari sana diberi surat pengantar". jelasnya.

Empat belas juta tujuh ratus delapan puluh satu ribu. jumlah itu yang berulang-ulang ku baca seolah tak percaya! Pahit rasanya ludah ini, namun kerongkonganku begitu kering dan panas

tak butuh lama ku pacu kuda besiku dengan tujuan pertama ke rumah RT, setelah beres langsung ke rumah RW, begitu kelar langsung menuju ke kelurahan, selah cukup lam mengantri, prosesnya kelar dan aku segera ke puskesmas.

Di puskesmas ini kendala menghadang, Kartu keluargaku mengandung masalah.

"Ooo anda sarjana, istri anda sarjana, aneh, anda kok miskin?". tanya orang puskesmas

"Askeskin itu untuk orang yang nggak pernah sekolah". Ujarnya lagi dengan ketus!!

"Mohon ibu survei dulu kerumah kami, setelah itu silahkan saja membuat keputusan, saya layak apa tidak mendapat askeskin itu". rayuku dengan menahan amarah

"Ya kalau saya bisa, saya banyak urusan, kalau mau menunggu besok atau lusa ya saya usahain deh", ia ngomong sambil berlalu keluar ruangan

aku segera mengejarnya, kali ini harga diriku kubuang jauh-jauh

"Bu, tolong sekarang bu, saya hanya diberi waktu hingga jam dua, ini surat pengantar dari rumah sakit nya bu, tolong saya bu". aku merengek seperti bayi, mataku terasa panas, tiba-tiba buliran bening mengalir dari pelupuk mataku.

Kepala puskesmas itu sepertinya luluh

"Tolong saya bu". suaraku kudramatisir dengan sempurna, mataku mendukung dengan memuntahkan seluruh isinya...

"Baiklah, saya akan kerumah bapak jam sebelasan lah, saya harus ke tempat lain dulu, saya heran semenjak pemerintah punya proyek askeskin semakin banyak orang miskin saja di sini?". katanya

"Terima kasih bu saya tunggu dirumah". kataku dan segera cabut!pulang.....

Dirumah kuatur strategi, pertama rumah harus kosong dari peralatan elektronik, kulkas, TV, Radio tape, kipas angin, kompor gas, mesin cuci, semua barang itu ke angkut kerumah tetanggaku yang sangat amat budiman, bang indra biasa kupanggil , ia pegawai pabrik dan sekaligus tukang ojek. barang itu kutitipkan setelah kujelaskan panjang lebar usahaku hari ini, dan akhirnya ia dan istrinya bisa mengerti dan memahami bahkan mendukungku.

Langkah kedua adalah mengumpulkan para ibu rumah tangga disekitar rumah, yang kebetulan mereka punya hobi ngerumpi dan pada jago ngegunjingin orang. sekali lagi aku bercerita panjang lebar tentang kepentinganku dan sebentar lagi akan ada survei dari orang puskesmas.

Tak lama berselang datang pula kahirnya ibu pegawai puskesmas, ibu-ibu yang sedari tadi telah menunggu langsung menghampiri pegwai pusskesmas itu.

"ibu sedang nyari rumah pak adi dan bu evi ya?". tanya tetanggaku

"iya nih"

"Ya betul bu ini, ini rumah mertuanya bu, memang iya dia sarjana bu, tapi sarjana geblek, ia gak punya gawean, ia sering ngojek bu, pake motor sewaan lagi, emang sih istrinya kerja jadi guru, tapi berapa sih gaji guru dua ratus ribu juga udah bagus". cerita itu mengalir begitu saja dari ibu yang satu ke ibu yang lain. kompak banget......

"Orang tuanya gak ada, adeknya ada enem orang belum ada yang kerja, semuaa dia yang nanggung bu" serang ibu-ibu

"Memangnya kemana orang tuanya?" tanya orang puskesmas

"Baru saja meninggal. kecelakaan lagi di jawa" jawab ibu-ibu, Busyet, mertuaku dibilang udah meninggal.

Akhirnya ibu pegawai puskesmas itupun mmimik wajahnya mengalami perubahan yangat drastis, wajah yang penuh rasa iba....

"Memang pak cobaan hidup kadang terasa berat, sabar ya pak, saya tanda tangani rekomendasi ini, setelah ini bapak ke kecamatan lalu ke dinas tenaga kerja dan sosial untuk meminta surat keterangan dan terakhir ke dinas kesehatan untuk minta persetujuan, sabar ya pak, saya hanya bisa membantu doa". kali ini suaranya berubah menjadi begitu lembut

Kecamatan Cimanggis, lalu ke Kantor Pemda tepatnya di dekat lapangan, bersebelahan dengan Balai Wartawan Depok disana yang ku tuju kantor disnakersos.

Jam 12.00 kelar juga, tinggal pintu terakhir yang harus kutaklukan, ku telpon tetangga budimanku, agar ia dapat menemaniku menghadapi dinas kesehatan, kuminta ia membawa kartu anggota perkumpulan tukang ojek nya. dan ia menuruti saja semua permintaanku, ia berjanji akan segera menyusulku

Jam 13.00 saat pintu kantor dinas kesehatan mulai dibuka, aku melangkah dengan tergesa ke dalam dan bertanya tentang pengurusan askeskin, kemudian aku disarankan untuk menemui dokter M yang bertugas saat itu

"Untuk mendapat askeskin, persaratannya ada keterangan tidak mampu dari RT, RW, Kelurahan, dan kecamatan lalu di setujui oleh disnakersos, ada?".

"Ada semua bu, termasuk rekomendasi dari rumah sakit dan dari puskesmas". jawabku dengan mantab.

" Lho ini gimana to? kok di kartu keluarganya sarjana? suami istri lagi?".

"Waduh!!!" teriakku dalam batin, melihat orang itu langsung berubah warna muka meneliti berkas-berkasku.

Jurus yang sama sepertinya harus dikeluarkan, TIPU-TIPU....

"Betul bu,........... saat ini saya tidak mampu membiayai persalinan istri saya, saya tidak punya uang" kata-kataku kumaksudkan untuk netral saja, jangan menambah kebohongan.

"Memangnya bapak gak tau, program askeskin untuk warga miskin, apalagi bapak ini sarjana pendidikan, kan bisa jadi guru atau ustad".

Tetangga budimanku menyela dengan agak gusar.

"Mana ada orang yang mau ngedengerin tukang ojek ceramah bu...,bu..?". keluhnya

"Tukang ojek??".

"Iya bu, sarjana sih iya, tetapi rejeki orang beda-beda bu".

"Ok, tunggu sebentar, saya tidak bisa menyetujui ini sendirian, saya harus musyawarah dengan tim saya yang berjumlah lima orang, jika lebih banyak yang setuju, saya akan ikut setuju".

Dokter itu masuk keruangan lalu disusul oleh beberapa orang, dan subhanallah ada satu dokter, laki-laki, dan ia menguatkanku dengan kata-katanya yang sejuk

"pak saya sudah menyetujui permohonan askeskin, memang benar pak, tak selamanya tingkat pendidikan itu berbanding lurus dengan kesejahteraan secara ekonomi, dan lagi kriteria tentang masyarakat miskin yang ditetapkan pemerintah sering kali tidak cocok dengan kenyataan dilapangan, sabar ya pak, salam buat istri dan semoga cepat sembuh".

"Terimakasih pak dokter"

Setelah selesai semua admisnistrasi aku segera menuju RS dan langsung ku selesaikan di administrasi rumah sakit, akhirnya.....

Secuil kertas kuterima, iya hanya secuil kertas yang terdapat tulisan

NAMA PASIEN :NY. EVI A S
KAMAR : TULIP A-4

TELAH MENYELESAIKAN ADMINISTRSI DAN DIPERBOLEHKAN PULANG.

'......................................
Aku bergegas ke kamar istriku yang sedang ditemani ibu bidan, ia terlihat kaget atas kehadiranku. aku merebahkan diri disampingnya dan kusilangkan tanganku menutupi wajah. seolah aku gagal dan sedang dalam kesedihan yang tak terkira.

untuk beberapa saat istriku hanya diam, raut mukanya ikut sedih dan bingung

"Gimana kak hasilnya??".

"Aku sudah berusaha sekuat tenaga, bayangkan dari pak RT hingga dinas kesehatan, capek aku, fisikku apalagi mentalku"

"Terus??"

"Hasilnya hanya sobekan kertas ini, Maaf ya dek".

Bu bidan hanya diam memandangi kami berdua

"Aaaaa., kakaaaaaak, tega banget sih!".

"Alhamdulillah bu bidan, kita bisa pulang".

"Alhamdulillaaaaaah".

EDWARD YASSER NAJIH, Kami berikan kepada bayi mungil kami, dan dengan nama itu aku berharap ia menjadi pangeranku yang selalu mendapatkan kemudahan dan selalu menjadi orang yang berhasil dalam hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar