Aku termasuk orang yang beruntung, dua bulan setelah menikah istriku terlambat bulan, lalu dilanjutkan dengan tanda tanda normal kehamilan. Perasaanku campur aduk tak karuan, aku bahagia, karena aku terbukti ‘jantan’.
Baru saja seorang sahabat bercerita bahwa usia perkawinanya telah memasuki tahun kesepuluh, namun ia tak kunjung mendapatkan momongan, segala upaya telah ia lakukan, mulai dari terapi yang bersifat medis maupun upaya non medis. Hasilnya nihil, ia bercerita bagaimana tersayat perasaannya saat menyaksikan istri tercintanya haru dan penuh harap dengan mata yang selalu menahan tangis bila bersua balita kecil, atau saat ia berjalan ke mall dan melewati gerai mainan atau baju anak-anak, sang istri dengan lirih berujar, “bang, kapan ya kita punya anak?”.
Yang lebih menyakitkan adalah saat dimana ia berkumpul dengan sanak famili, bisa dipastikan istrinya akan pulang dengan menangis, tentu saja, bisa dipastikan sanak famili bertanya tentang kapan punya anak?. Tetapi pertanyaan itu bisa berarti hujatan yang memalukan bagi keluarga ini.
Tapi aku?…., ya, aku senang Allah memberikan amanat ini, tapi aku belum siap apa-apa, bagaimana nanti aku akan memberikan asupan makanan nan bergizi untuk istri dan anakku? Sementara aku tidak bekerja dan menganggur?
Aku baru tahu jika ternyata kehamilan bagi seorang wanita, apalagi yang pertama seperti istriku saat ini, berdampak luar biasa bagi psikisnya. Perubahan secara fisik itu berpengaruh terhadap perilakunya dan membuat emosinya tidak stabil. Hampir setiap hari secara emosianal istriku mencak-mencak yang aku sendiri tak tahu pasti apa penyebabnya.
Untungnya aku termasuk orang yang tak gampang terpengaruh, tidak dengan serta merta aku emosi jika istriku marah tanpa sebab, aku selalu berusaha mengurai masalah-masalah yang bisa menimbulkan amarah istriku, termasuk statusku sebagai pengangguran ini.
Ijazah sebagai bekal mencari kerja tak dapat membantuku, walau kemudian aku bekerja tanpa ada korelasi langsung dengan ijazahku aku mensyukurinya, karena statusku akan segera berubah.
Aku meyebut profesiku sebagai wartawan, walau saat itu aku tak mengenal UU Pers, karena memang aku bekerja di sebuah ‘koran’ yang terbit mingguan, aku dijanjikan memperoleh gaji empat ratus ribu perbulan. Aku dengan sangat ringan meng iyakan saja, karena daripada menganggur dan tidak memperoleh uang sama sekali, dan memang sesuai dengan perkiraanku, aku tak pernah mendapatkan gaji yang dijanjikan.
Aku menjalani profesiku dengan tidak mengharapkan ‘sesuatu yang lebih’ karena aku tak merasa bahwa profesi ini sesuai dengan keinginanku, namun ternyata saat aku menyusur dan menggali informasi yang layak dijadikan berita dengan menyambangi para narasumberku, aku mendapatkan ‘sesuatu’ yang jika aku kalkulasikan jauh berlipat-lipat dari apa yang dijanjikan atasanku.
Aku tak perduli dengan ‘status’ sesuatu yang aku peroleh, karena sekali lagi aku berfikir bahwa profesiku ini adalah ‘darurat’. Jangan dikira aku tak berfikir tentang halal haram, sebab walau tak terlihat, dijidatku ini telah distempel “alumni pesantren”.
Dalam merawat bayiku sejauh ini tak kutemui kendala yang berarti, untuk sekedar membeli vitamin, susu bagi ibu hamil dengan merk terkenal, hingga medikal chek up rutin bisa aku lalui dengan tepat waktu.
Seiring berjalanya waktu, tak terasa aku telah mengawal istriku untuk melewati hari-hari kehamilannya dengan baik, dan minggu-minggu ini aku menghadapi fase menegangkan, istriku akan melahirkan, saat ini yang ada difikiranku adalah bagaimana cara mengahadapi semua ini, kedua mertuaku sedang berada dikawasan indonesia bagian timur, mereka mengais rejeki dengan berniaga dan pulang ke jakarta antara tiga hingga empat bulan sekali, itupun karena mereka belanja barang dagangan.
Kedua orang tuaku?, maaf mereka sibuk untuk urusannya sendiri, untuk bertahan hidup saja susah, dan akupun tau diri untuk tidak merepotkannya.
Ya sudahlah, aku besarkan hati istriku untuk menghadapi proses kelahiran anak pertama kami dengan mempersiapkan diri sebaik-baiknya, menata batin adalah persoalan terpenting terlebih dahulu, baru kemudian persiapan-persiapan yang lain.
Jam 01.00 dini hari, dengan tiba-tiba istriku mengguncangkan tubuhku dengan sekeras-kerasnya. Dengan menangis ia berkata bahwa mungkin ia akan segera melahirkan, tempat tidur kami telah basah kuyup dengan air ketuban. Aku menenangkan istriku, lalu bergegas membangunkan tetangga depan rumah untuk ikut membantu aku mempersiapkan segala sesuatu yang kiranya diperlukan.
Kami segera berangkat kerumah bidan yang selama ini kami jadikan rujukan. Sesampainya disana bu bidan yang telah 28 tahun bekerja profesional itupun memberikan motivasi dan langkah-langkah yang akan istriku lalui dalam menjalani proses kelahiran ini.
Dari jam ke jam aku merasakan situasi yang kian mencekam, selama itu pula istriku terus menerus merintih menahan sakit. Melihat tatap matanya badanku ikut merasakan betapa perih dan ngilu sakit yang dirasakan istriku.
Pukul 11.00 siang datang seorang bidan yang akan membantu bu bidan menangani kelahiran anakku. Setelah ia memperkenalkan diri ia menasehatiku jika aku tak sanggup agar keluar saja dari ruangan, agar tidak terjadi suatu hal yang tak diinginkan, misalnya jika sampai aku pingsan, maka akan lebih merepotkan. Tetapi aku menolaknya, dan aku meyakinkannya jika aku mampu.
Aku sungguh-sungguh berbohong saat itu, aku sebenarnya tak kuat, tetapi tatapan istriku seolah mengatakan agar aku jangan pergi jauh darinya.
“kak, jikalah aku mati, rawat anakku baik-baik ya, maafkan aku”. Kata istriku lirih
Spontan aku jawab “tidak”. Dan aku kuatkan ia, tak akan terjadi hal-hal buruk, ia adalah ibu yang tangguh, fisiknya kuat dan begitu juga semangatnya harus terjaga, jangan kalah dengan temannya yang baru seminggu lalu melahirkan.
“ Dewi saja bisa, ia badannya lebih kecil darimu, kamu lebih segala-galanya dari nya”. Kataku.
Teriakan kesakitan dari istriku intensitasnya terus naik, kami, aku dan dua orang bidan terus menyemangatinya. Dan tepat adzan zuhur berkumadang, anakku pun terlahir.
Allahu akbar, subhanallah, alhamdulillah…..
Takjub, terpana, bahagia, haru menjadi satu. Sosok mungil yang sangat mirip wajahku seolah tersenyum menyapaku, ya, kini aku jadi seorang ayah.
Shabrina kanza aqilla, begitu nama yang telah kami siapkan, yang artinya kesabaran kami untuk anak yang kelak menjadi orang pintar dan menjadi harta yang tak ternilai harganya.
Pada hari ke empat kami pun diizinkan pulang.
Hari-hari kami lalui dengan keceriaan dan rutinitas baru, dan syukurnya anakku yang aku panggil kanza itu tak rewel, ia hanya tidur dan sesekali saja menangis.
Minggu berlalu, setiap pagi dan sore menjelang, istriku dibantu oleh tetangga yang menaruh iba, mereka telah mengatur jadwal memandikan anakku, mereka akan melakukannya hingga istriku telah benar-benar sanggup memandikan kanza.
Pada suatu hari datang lah rekan istriku untuk silaturahim, dan kami baru tahu, jika kami telah berbuat kesalahan fatal!
Kanza ternyata kuning, dan rekan istriku menyuruhku untuk sesegera mungkin membawanya kerumah sakit.
Aku turuti saja semua saran itu walau aku tak tahu harus bagaimana, apa bahayanya jika kanza kuning? Apa yang salah pada perlakuan kami?
Bersambung……………..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar