Minggu, 30 Mei 2010

Salah langkah

Kalimat itu sudah sangat jamak diartikan sebagai sebuah ungkapan penyesalan, penyebabnya tentu saja sangat beragam mulai dari kurang cermat, kurang perhitungan, kurang akurat atau karena tidak diprediksi sebelumnya dan lain-lain.

Salah langkah yang berkonotasi negatif juga berdampak kepada penyesalan masa lalu, namun tak kita sadari jika salah langkah yang justru membuat kita lebih baik, kita mengira salah langkah adalah sebuah bencana karena tidak sesuai dengan keinginan-keinginan yang kita rancang dan persiapkan.

Jikalah salah langkah yang kita jalani ternyata membuat kita berhasil, kita hanya menyebutnya dengan keberuntungan. Jika benar hanya sebuah keberuntungan, maka alangkah luar biasanya ni’mat Allah yang kita rasakan. Karena ternyata kita lebih banyak mendapat keberuntungan seumur hidup kita.

Saat ikut tes masuk perguruan tinggi dulu saya hanya iseng saja karena ada rasa tak enak dengan almukarom ust. SA yang terus mendorong saya untuk daftar di ISID, Sesuatu yang saya anggap langkah salah, kerena saat itu sebenarnya bisnis saya sedang dalam kondisi yang sangat baik. Tetapi langkah yang saya tempuh ternyata bukan langkah yang salah, begitu banyak keberuntungan yang saya peroleh. Saya beberapa kali mendapatkan beasiswa, hingga lolos screening paska peristiwa rabu kelabu dan lulus dengan IPK yang lumayan. Perlu diketahui di ISID sangat sulit mendapatkan nilai.

Dan pada akhirnya saya merasa jauh lebih penting belajar dan menempuh kuliah, sebuah cita-cita yang sulit terwujud dikeluarga besar saya. Saya bangga menjadi sarjana pertama dikeluarga besar saya yang tidak begitu mementingkan pendidikan. Keberhasilan hidup hanya dinilai dari banyaknya properti.

Lalu kemudian saya salah langkah ketika harus menolak tawaran seorang ulama di Banten untuk memimpin sekolahnya dan justru masuk ke dunia politik praktis menjadi pengurus DPD PNBK Propinsi Lampung.

Kesalahan itu ternyata menjadi sebuah pengalaman berharga, karena saya bisa belajar politik dan menjadi calon anggota legeslatif dari wilayah Tulang Bawang. Walau pada akhirnya langkah saya yang berbuah kegagalan ini saya syukuri, karena saya termasuk orang yang beruntung bisa merasakan atmosfer hiruk pikuknya dunia politik yang penuh intrik. Alangkah sulitnya seseorang yang ingin menjadi legeslatif dinegeri ini, dan berapa banyak uang yang harus disiapkan dan juga persyaratan tetek bengeknya.

Salah langkah selanjutnya adalah ketika saya memutuskan menikah disaat kondisi keuangan saya yang berantakan paska pemilu 2004, sehingga saya terpaksa hijrah ke Depok dan menjadi pengangguran. Aktiftas yang saya jalani adalah, ketika istri saya berangkat kerja saya ikut berangkat juga. Saya menuju toko buku G di kawasan margonda Depok, saya menunggu cukup lama untuk dapat masuk, karena toko buku itu buka jam 08.30 sedangkan saya sudah nongkrong sejak jam 06.00 pagi.

Setelah sore hari jam 16.00 baru saya pulang ke rumah mertua dengan berjalan kaki, jarak yang saya tempuh 7 km. aktifitas ini berlangsung selama 5 bulan, sembari terus menyebar surat lamaran kerja.

Saya baru tahu, ternyata tempat lahir itu sangat berpengaruh dalam kesempatan mencari pekerjaan, kebetulan saya terlahir di Lampung, dan karena itulah saya mengalami banyak penolakan, padahal secara kesukuan saya ini jawa tulen (ponorogo), tetapi tetap tak berpengaruh baik.

Belum lagi ijazah saya yang alumni pesantren ini. Beberapa kali saya ditolak oleh perusahaan karena ijazah saya dan yang membuat saya kecewa adalah saran yang diberikan saat menolak saya. “Coba saja anda melamar ke pesantren atau sekolah”. Padahal saya telah lulus tahapan seleksi dan tinggal wawancara akhir saja. Ijazah pesantren tidak layak untuk melamar kerja kecuali sales sama debt colector.

Sebenarnya saya pernah juga melamar guru di beberapa sekolah dan ditolak, hanya ada satu sekolah yang mau menerima saya jadi tenaga pengajar dan dibayar Rp. 70 ribu sebulan, lalu saya mengundurkan diri.

Akhirnya saya membuat langkah salah lagi dengan menjadi wartawan lokal Depok. Kali ini kesalahan saya ini saya manfaatkan betul agar saya bisa eksis di Depok.

Dunia pers membuat saya kesasar, sangat sulit bagi saya mendefinisikan warna abu-abu, hingga pada akhirnya saya bisa mampir ke pusdatin Departemen Sosial hingga Desember 2008, disaat yang sama saya juga mendirikan sebuah SMP IT yang pemiliknya selalu menyarankan saya berafiliasi ke partai politik tertentu. Tentu saja saya menolak dan berakhirlah kerjasama saya.

Saya bergabung ke sebuah LSM pengembang sumber daya manusia Dinamika Insan dan mendirikan home schooling (2008) sebagai sekolah alternatif, dan tidak berbayar yang saya berinama Harmony home schooling, yang saat ini sedang antara ada dan tiada. Karena faktor utamanya adalah dana.

Saya juga aktif ber organisasi, ada Federasi Guru Independen Indonesia sebagai ketua II, Komite Independen Pemantau Pemilu sebagai Ketua, Persatuan Wartawan Nasional sebagai ketua bidang, dan menjadi pengurus di Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMA.

Awal 2009 saya mencoba menjalankan langkah-langkah yang telah lama saya impikan yaitu mulai menjalankan bisnis ekspor komoditas jarak pagar. Dan ternyata jauh panggang dari api, saya kembali gagal total. Saya menyimpulkan bisnis jarak pagar sama dengan bisnis harta karun, uang brazil dan barang keramat yang lain.

Saat ini saya benar-benar tidak tahu, apakah saya salah langkah lagi karena saya memutuskan kembali kedunia pendidikan, saya ingat saat dipesantren dulu (al-Islam dan Gontor) kiyai, ustadz –ustadz kami selalu memberikan pemahaman kepada kami para santrinya bahwa profesi yang paling mulia adalah menjadi guru dan mengajar walau hanya untuk dirinya sendiri.

Saya juga sedang mempersiapkan diri untuk melanjutkan studi menambah ilmu bahasa indonesia, yang menurut teman saya adalah salah, karena seharusnya saya melanjutkan ke prodi yang sama karena gelar akademik saya sarjana pendidikan islam bukan sarjana bahasa indonesia.

Dampak dari salah langkah itu membuat saya berfikir, merenung dan membuat kesimpulan bahwa hanya Dia-lah yang maha tahu yang telah menggariskan perjalanan hidup saya. Tidak ada istilah salah langkah dalam hidup ini, yang ada adalah kebebasan memilih disertai dengan konsekuensi logisnya.

Begitu juga dengan statemen Budiono Wakil Presiden Indonesia dihadapan sebuah forum kemaren. Ia mengatakan bahwa ia mengambil langkah yang salah dengan menjadi wakil presiden. Karena sebenarnya ia lebih suka menjadi akademisi di dunia pendidikan yang selama ini telah membesarkannya.

Bayangkan, salah langkahnya Budiono ia menjadi wakil presiden, sebuah jabatan prestisius yang saya yakin banyak orang yang menginginkannya. Jangan takut dengan langkah salah yang telah atau sedang Anda jalani sekarang. Terus maju dan berikan yang terbaik bagi pekerjaan Anda, apapun profesi Anda.wallahu a’lamu bishawwab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar