Minggu, 24 Oktober 2010

Khitan

Semua teman seumuranku telah dikhitan, kini tinggal aku sendiri. Setiap kali aku meminta izin orang tuaku menolaknya, terutama ibu.

“Belum ada duitnya, emangnya cukup dipotong doang?, pan butuh juga dirayain, tanya noh bokap lu, gablek duit kagak?”

Jawaban ibu kian membahana membelah angkasa, dan lucunya saat beliau marah logat dan dialeknya aneh- aneh, padahal ia jawa tulen.
……o0o….

Setelah sholat subuh berjamaah di masjid dekat rumah, Nanang sahabatku bilang bahwa sutrisno adik kelasku semalam telah dikhitan. Padahal sutrisno itu umurnya dua tahun dibawahku, tetapi dia sudah berani khitan dan katanya dimeriahkan dengan pesta-pesta pula.

Memang aneh dilingkunganku ini, untuk acara khitan tak jarang harus berhutang kanan-kiri, lalu membuat acara yang super meriah dan setelah itu pindah rumah, karena disita rentenir. Bahkan ada yang lebih lucu lagi prinsip hidupnya, setelah khitan bekerja untuk menikah beserta resepsinya, lalu uang hasil sumbangan amplop dikumpulkan buat biaya kelahiran dan juga dengan resepsi potong rambutnya, hasilnya dikumpulkan untuk khitanan anaknya, hasil khitanan dikumpulkan untuk resepsi pernikahan, terus berputar….

Sedangkan bagiku, khitan sudah menjadi keharusan, aku benar-benar malu menjadi bahan ejekan teman-temanku, apalagi saat mandi bersama dikali pinggiran desa, habis aku menjadi olok-olokkan. Terlebih lagi aku sudah mulai merasakan deg-degan saat ketemu dengan sri gadis yang suka berkepang dua itu.

Sebenarnya aku sudah mendapatkan tawaran khitan gratis dari dokter lukman, ia sedang praktek didesaku, syaratnya cukup mudah, berani maen bola dengannya. Maka semenjak ia praktek sudah puluhan kleb bola berdiri, olah raga kian terasa gaungnya.

Tahun depan aku akan naik kelas VI, aku harus nekad, aku harus segera khitan, dengan atau tanpa persetuan orang tuaku, aku tak mau terlalu lama menanggung malu. Aku beranikan diri sekali lagi meminta izin kepada ibuku sebab, bapakku pasti akan setuju jika ibuku setuju.

“Nih anak susah ya dikasih taunya!, ibu belum punya uang, semenjak kamu lahir ibu belum pernah hajatan, tabungan ibu sudah banyak diorang-orang, satu keluarga sudah mengundang ibu empat kali, kalau nanti ibu hajatan orang itu harus mengembalikan amplop sejumlah yang ibu bayar, sekarang ibu lagi mengumpulkan uang, atau tanya saja bapakmu, dia sanggup enggak ngasih biaya khitanmu?, kerjaanya klumbrak klumbruk koyo suwal amoh ra kanggo gawe…”. Ibuku terus bernyanyi

“Tapi bu, aku malu, isin… sutris adek kelasku wes sunat, aku urung, selak jembuten”.

“Dasar bocah angel diatur, lek arep sunat, sunato dewe!” ibu naik pitam

Tapi aku senang dengan jawaban itu, ibu setuju walau terpaksa, aku bergegas ke rumah kontrakan dokter lukman, kukayuh sepeda jengki warna biruku dengan merdeka, dibelakang telah kutautkan celengan bambu sepanjang setengah meter hasil tabunganku selama ini.

Sesampainya dirumah dokter, aku mengetuk pintu, rupanya ia sedang di samping rumah, lalu iapun menghampiriku.

“Serius!”.katanya setelah mendengarkan maksud kedatanganku

“Baiklah, tapi…kamu sudah sarapan?”.

“Sudah, sebutir telur rebus”.

“Yaa..h…kurang, kita tunggu sebentar, teman saya sedang masak nasi, kita sarapan
bareng-bareng ya”.

Setelah sarapan, pak dokter mengeluarkan semua alat yang akan ia pergunakan untuk mengkhitanku. Ternggorokanku terasa kering, ludahku terasa pahit sekali…

“yang ini buat japitan, yang ini untuk memotong, yang ini untuk menjahit…. Tapi suntikannya belum ada, sebentar ya, kita harus merebus semua alat ini agar steril”
Sepertinya sengaja dokter lukman memperlihatkan semua alat-alatnya, ia menguji keberanianku, sebab aku anak ternekad, selama ini tak ada anak yang berani berangkat sunat sendirian, pasti ia diantar sanak keluarganya.

Aku harus berani, gak boleh mundur, lelaki pantang surut langkah!

“Yuk kita mulai”… dokter mengajakku masuk kekamar praktek, aku duduk diatas dipan yang tersedia.

Dokter dan temannya dengan cekatan memulai operasi besar ini. Pertama dia menyuntikkan cairan ke tubuh bagian belakangku, lalu tak beberapa saat kemudian ia mencubit bagian tubuhku.

“Terasa sakit?”

“Iya”. Jawabku. Sebenarnya aku tak yakin, aku sakit atau tidak, tetapi ketakutanku menjawab dengan spontan.

“Wah, dosisnya ditambah pak” kata dokter kepada temannya.
Sekali lagi aku mendapatkan injeksi cairan, kali ini langsung dibagian tubuhku yang akan dikhitan itu.

“kalau sehabis disuntik kedua kalinya, kamu masih merasa sakit, khitan kita tunda hingga minggu depan”. Kata dokter yang sepertinya tahu isi hatiku, ia mengultimatumku dengan maksud agar aku berani

Cubitan yang kedua dilkukan dengan lebih keras. Kali ini aku menjawab tidak dengan suara yang kumantap-mantapkan, tetapi tak urung suaraku parau..

“kalau begitu, kamu tiduran saja, gak usah dilihat”. Perintah dokter
Operasi berlangsung agak lama, hingga 30 menit berlalu tak kunjung usai, darah terus mengalir.

“Dubrakkh!!”.

Tiba-tiba terdengar benda jatuh diluar kamar praktek.

“Siapa itu?”. Dokter terlihat kaget juga. Temannya dokter bergegas keluar.

“Pak Adianto?, pak bangun pak, kenapa pak?”

Bapakku?, sejak kapan dia berdiri disana?, kenapa jatuh?.

Setelah disela kejadian itu, dokter kembali ke ruangan melanjutkan pekerjaannya.

“Punyamu bungkus, makanya agak lama, tapi gak apa-apa gak usah khawatir. Tadi ayahmu pingsan gak kuat mengintip kamu dari luar, sekarang ia saya suruh pulang, kamu berani kan sendiri?”

Aku tersenyum kecut, aku merasa daerah sekitar selangkanganku semakin panas.

“Pak dokter, sakit nih”.

“Walah, biusnya sudah habis to?, pak hakim tolong itu semprot bius, dia mulai kesakitan”.

Sambil menyelesaikan tugas operasi itu semprot bius terus menyembur..

Dua botol bius penahan rasa sakit telah terkuras, dan akhirnya selesai. Kuucapkan terimakasih, dan kuserhakan celengan bambuku. Tetapi dokter menolaknya.

“Anggap ini hadiah dari saya”..

Dengan berbalut kain sarung aku tertatih melangkah pulang, sepeda jengki kesukaanku telah dibawa bapakku. Kebetulan hari ini hari pasaran, jadi masyarakat berbondong kepasar untuk belanja keperluan. Aku mempergunakan kesempatan ini untuk menyampaikan kabar gembira ini, siapa tahu aku bisa mendapatkan uang sumbangan sunat.

“Mbokde aku sunat ki!”.

“Halah gek moso tho lee, lha wong tuamu ra kondo-kondo?”.

Hari itu, menjadi hari heboh, orang tak jadi pergi kepasar melainkan kerumahku untuk sekedar mengucapkan selamat dan memberikan sumbangan.

Ibuku masih dalam amarah, tak sudi ia sekedar menyalami tamu-tamuku. Ia bersikap seolah tak ada apa apa dirumah.

Tamu terus berdatangan, semua saku yang kupunya tak sanggup menampung amplop yang terus menggunung. Tak terduga olehku jika kemudian muncul kakekku, tetapi sepertinya ia tidak senang dengan sesuatu.

“Wong tuo podo pekok, ra duwe isin, dari pagi tak mau menerima tamu, kalau memang gak suka dengan kelakuan anakmu, yo wes dibeleh wae, dikubur kono!”.

“Kae, semua makanan diturunkan dari mobil, kita selametan”.

Akhirnya semua tetangga bergerak otomatis mengadakan kegiatan laksana hajatan sunatan pada umumnya, musik bertalu-talu walau dari kaset, tapi aku sudah bangga……

Tunggu aku sri…, aku wes sunat..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar