Kamis, 30 September 2010

Mengakui Kesalahan

Waktu saya dilampung, lingkungan mendidik saya dengan sangat keras, mempertahankah hak terkadang harus dengan nyawa. sehingga saya menjadi anak yang gampang melakukan 'duel' untuk menyelesaikan masalah.



Semakin hari saya menikmati bagaiamana rasanya menerima pukulan dan memompa adrenalin saya saat lawan menggunakan senjata tajam. parahnya lagi saya merasa sok pahlawan, sehingga saya merasa mempunyai kewajiban moral untuk menolong teman-teman saya yang sedang bermasalah dengan orang lain.



Tetesan darah yang keluar dari hidung itu terasa hangat dan manis, dan akan membuat saya kian bersemangat menyerang lawan, hingga dampaknya fatal, sekarang telinga kiri saya tidak bisa mendengar dengan baik, kerana pukulan benda tumpul yang mendarat telak disana, hidung sayapun tidak simetris lagi, karena berulang kali patah tulangnya.



Saya akan dengan senang hati membantu teman saya, dan saya tak peduli teman saya yang salah atau dalam posisi yang benar.



Polah tingkah saya lama-kelamaan terendus orang tua juga hingga mereka memutuskan untuk mengirim saya secara permanen ke Ponorogo, lingkungan disana lebih kondusif dan santun dibandingkan dengan dilampung tempat keluarga saya tinggal.



Suatu hari, tangan saya terasa gatal, sayapun segera mencari gara-gara agar dapat lawan untuk duel. tetapi lawan saya dengan enteng menyerahkan pipinya dan berucap:



"Kalaulah sekiranya tamparanmu akan membuatmu mereda silahkan saja, aku tidak akan membalasnya"



Senakal-nakalnya saya saat itu tidak mau menyerang, atau tepatnya gengsi jika musuh tidak mau melakukan perlawanan. sehingga saya merasa dihina dengan perlakuan itu.



Tetapi, ternyata peristiwa itu yang merubah pandangan hidup saya. saya mulai tersentuh dengan kelembutan, saya mulai belajar menggunakan hati nurani.



Dan pada akhirnya saya mendapatkan pelajaran bahwa mengakui sebuah kesalahan yang pernah kita lakukan jauh lebih jentel dari pada menjatuhkan atau mengalahkan orang lain.



Kemenangan akan tidak berarti jika kita merasa mengalahkan orang lain, kemenangan adalah keberhasilan kita menjadi yang lebih baik dari yang lain.



Kita sangat sulit untuk melakukan pengakuan, kita sering kali merasa akan direndahkan jika kita jujur. padahal sejatinya kita telah merendahkan orang lain dengan tidak jujur kepadanya.



Kita tidak suka jika orang lain tidak jujur, kita juga tidak menyukai jika orang lain tidak mau mengakui kesalahannya. dan tentu saja orang lain akan berlaku sama kepada kita.



Ketidakjujuran dan sulit mengakui kesalahan telah membudaya, bukan hanya dilingkungan, dikantor dimasyarakat tetapi juga telah menyebar kesekolah dan keluarga, karena keduanya adalah virus yang menjangkiti individu, terlepas apa dan siapa diri kita.



Seorang murid saya tidak mengerjakan tugas yang saya berikan, tetapi ia tidak merasa bersalah dengan beralasan bahwa saat saya memberikan tugas sebulan yang lalu ia tidak masuk kelas, jadi bukan salahnya jika hari ini ia tidak menyerahkan tugas, tetapi salah saya kenapa tak memberitahukannya.



Rekan saya tidak merasa bersalah, ketika ia minta izin untuk mengurusi ke-RT-annya dengan meninggalkan pekerjaan yang harus saya selesaikan sendiri, tetapi ternyata rekan saya pergi ke Mall dan sedang belanja HP baru.



Bahkan orang yang menabrak motor saya tidak merasa bersalah, padahal saya sudah minggir dipinggir jalan dan telah juga menyalakan lampu sen, dan orang itu mengumpat dan terus menerus mengomel menyalahkan saya, ia terus menerus menekan saya agar saya tidak marah, saya yang salah, saya tidak bisa mendapat ganti rugi, jangan sampai saya menuntut, sebab urusannya akan semakin menyusahkan saya.



Bukankah dengan kejadian itu seharusnya saya yang ngomel, saya yang seharusnya marah, bukan dia!.



Dengan perlahan saya hampiri bapak itu, saya tersenyum kepadanya, saya ucapkan terima kasih akan nasehatnya. dan....



Tiga pukulan tangan kanan saya dengan telak mendarat dibibir orang itu, saya hanya mengusir syetan yang ada dimulutnya.



Hasilnya... dua syetan berhasil rontok dari mulutnya.



(salahkah saya?)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar