Belajar dari pak rawi.
Sungguh pak rawi itu bukan siapa-siapa. Ia bukan guru, ustad, atau tokoh masyarakat, RT pun bukan, tapi saya sungguh kagum dengannya. Usianya sekitar 60 tahunan, ia hidup dengan dedikasi yang tinggi. Pengabdianya kepada masyarakat patut kita contoh.
Perawakannya kecil dengan tinggi kira-kira 155 cm, namun ia terlihat handsome, apalagi jika berkaca mata, padahal kaca matanya cuma cebanan.
Pak rawi memilih sebuah yayasan sosial sebagai tempat pengabdiannya. Ia tidak mendapatkan gaji layaknya para pegawai tunggu ataupun tunjangan-tunjangan seperti yang para buruh perjuangkan. Ia tidak pernah perduli dengan undang undang tenaga kerja. Baginya cukup dengan apa yang bisa ia lakukan demi kemaslahatan ummat.
Kejujuran adalah sebuah sikap yang harus dipertahankan, apapun resikonya.
Banyak diantara sahabat kami yang menaruh simpati dengan pak rawi, sehingga kita berupaya untuk membuatnya punya usaha yang akan sedikit membantu biaya hidupnya. Salah satunya usaha parfum isi ulang.
Maka setiap hari jumat pagi berangkatlah pak rawi ke departemen sosial di salemba
dengan naik kereta. Kebetulan di
Hari itu dari pagi hingga siang menjelang dagangan pak rawi hanya laku satu botol. Harganya 25 ribu. Berarti keuntungan pak rawi siang itu hanya 5 ribu saja.
Setelah keadaan sepi, pulanglah pak rawi dan kembali naik kereta ekonomi. Saat dalam kereta ia terserang kantuk yang amat sangat, hingga ia terlelap. Tanpa disadarinya tangan jahil siap memangsa. Dan hilanglah hasil usaha pak rawi siang itu.
Ketika sadar, kereta telah merapat di stasiun depok lama, ia berjalan gontai karena menahan lapar. Pak rawi berfikir tentang penjelasan apa yang akan ia sampaikan ke istrinya nanti, sebab hari ini hanya laku satu.
Instingnya mengarahkan tangan ke saku celananya untuk mengambil uang, apa lacur kantong telah kosong melompong….
Kebiasaan kami, sekali dalam sepekan mengadakan rapat kecil-kecilan, termasuk bagaimana usaha yang pak rawi jalankan.
Hebatnya, tak satupun dari kami yang marah kepada pak rawi, tapi dengan mengelus dada kita mengucap astaghfirullahal adzim… dengan tersenyum.
Ketaatan adalah ibadah tertinggi, walau bisa jadi pada kejadian tertentu terlihat konyol.
Suatu saat ada yang merasa lapar, kemudian ia meminta tolong ke pak rawi untuk beli nasi plus lauk berupa lele goreng. Tanpa pertanyaan apapun berangkatlah pak rawi dengan berjalan kaki ke rumah makan yang dimaksud.
Beberapa saat kemudian ia pun tiba, tapi tidak membawa makanan apapun. Lalu kemudian ia menjelaskan lele gorengnya tidak ada. Ia tidak berani membeli lauk yang lain karena takut mengecewakan orang yang menyuruhnya.
Dilain kesempatan, waktu anak-anak didik kami sedang melakukan penjelajahan alam yang lumayan sulit, saat itu anak-anak yang usianya setingkat sekolah dasar harus menyebarangi sungai yang deras arusnya. Pak rawi dibri tugas untuk mengawal rombongan anak-anak itu. Semua panitia tak mengetahui jika pak rawi tidak bisa berenang, tapi tidak ada sepatah kata apapun selain taat pada tugas yang ia emban.
Pak rawi berucap bahwa nyawanya adalah taruhan terakhirnya.
Pengorbanan adalah tanggung jawab.
Pak rawi tidak mengenyam pendidikan dengan baik, hingga sekarang bacaan alqurannya pun amburadul. Bahkan jika ia berdoa hanya doa sapu jagat yang ia ulang-ulang puluhan kali.
Namun katanya, tenaga yang bisa saya korbankan adalah tanggung jawab saya sebagai hamba Allah. “Saya tidak pinter, tapi saya yakin pengorbanan hidup saya akan bermanfaat bagi orang lain”.
Kemerdekaan adalah tidak menahan kita saat ingin berbuat kebaikan
Pak rawi tidak pernah menunggu sesuatu hingga sempurna untuk mulai berbuat, ia tidak menunggu pensiun, ia tidak menunggu punya waktu luang, ia tidak menunggu pandai, ia tidak menunggu kaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar