Kamis, 30 Juli 2009

Cerpen

Rindu buat ayah dan bunda

Namaku Shabrina Kanza Aqilla, usiaku empat tahun. Mataku sipit, berat badanku 25 kg tinggi badanku 90 cm. Kulitku putih, apalagi kalau aku sedang berkumpul dengan teman-temanku. Rambutku keriting kemerahan dan suaraku parau.

Namun dibalik itu semua aku mengalami kesulitan untuk berbicara, tidak seperti teman-temanku yang telah pandai berbicara bahkan sejak mereka masih berusia dua tahun. Entah mengapa lidahku sepertinya kaku dan sulit aku gerakkan mengikuti perintahku, sehingga suara yang keluar hanya berupa kosa kata yang itu-itu saja.

Ayah dan bunda memanggilku kanza yang berarti harta karun yang tak ternilai harganya.Kadangkala mereka menambahi panggilan sayangnya dengan sebutan nduk kanza atau hanya memanggilku dengan ndut saja. Memang aku terlihat berbeda dengan teman sebayaku.

“gemuk dan putih seperti orang luar negeri” begitu nenekku sering menerangkan keandaanku

Aku tinggal bersama kakek dan nenek di lampung. Rumah kakekku di kampung sekitar 2 jam jika ingin ke kota. Dirumah kakek kami hanya tinggal berempat saja aku, kakek, nenek dan mbah uti, begitu aku memanggil uyutku, kedua pamanku telah lama di jawa, om Imanu sudah menikah dan menetap di jawa dan om Yusuf sedang belajar di pesantren.

Aku bersama kakek dan nenek sudah dua tahun, semenjak adikku lahir, kakekku bercerita bahwa ia kasihan kepada ayah bundaku, karena harus mengasuhku dan adikku yang baru lahir Kakekku menyarankan agar aku dibawa ke Lampung saja, supaya tidak usah lagi membayar pembantu dan pengasuhku. Lagi pula mereka sekarang sedang tidak ada yang diasuh lagi, ditambah selama ini kakek dan nenekku belum pernah mengasuh anak perempuan yang selama berpuluh tahun mereka dambakan.

Kata kakek saat mengetahui ada adik baru, aku menjadi anak yang sangat rewel, aku cemburu dan tidak bisa menerima kehadiran adikku yang cowok itu. Maklum perhatian kedua orang tuaku lebih banyak kepada adikku. Keadaan inilah yang membuat bunda dan ayahku setuju saat kakek dan nenek membawaku ke Lampung.

Kakekku tahu pasti tentu berat dan sedih rasanya ayah dan bunda melepasku, tapi sepertinya memang lebih baik aku dibawa pergi karena sudah membahayakan adik kecilku. Kata kakek aku sering memukul adikku bahkan menginjaknya.

Kedua orang tuaku berada di Depok Jawa Barat, mereka masih tinggal serumah dengan nenek dari bunda. Mereka belum bisa membeli rumah sendiri, mereka masih menyatu dengan keluarga besar bunda.

Ayahku setiap hari mengantar dan menjemput bundaku, katanya ayah sedang tidak bisa menghasilkan uang, sehingga bundaku yang bekerja. Kakek sering bercerita sebenarnya ia menginginkan ayah untuk hidup dikampung saja, dikampung tentu banyak yang bisa dikerjakan dan menghasilkan uang tanpa melamar kerja, karena ada empang ikan yang besar yang bisa menghasilkan uang. Jika ayah mau memelihara ikan, atau menggarap ladang yang ada di gunung.

Tapi ayahku memilih bertahan di Depok, karena kata ayah, bunda tidak betah hidup dikampung. Maka ayahlah yang mengalah pada bunda untuk menetap di Depok hingga sekarang.

Bundaku adalah seorang guru di SDIT. Setiap hari ia berangkat ke sekolah dari jam 06. pagi dan pulangnya sehabis sholat maghrib, terkadang ia pulang telat jika harus memberikan privat ke muridnya.

Aku diberi karunia ingatan yang kuat, sehingga memoriku sanggup menyimpan berjuta kenangan yang indah tentang ayah dan bunda. Sebulan yang lalu ayah, bunda dan adikku pergi ke Lampung, dan mereka tiba dirumah saat jam 03.00 pagi. Aku menyambut adikku dan kedua orang tuaku dengan gembira. Semenjak adikku lahir, baru bisa bertemu lagi sekarang, namanya Edward Yasser Najih dan dia biasa dipanggil Edo saja. Umurnya sekarang 2 tahun. Rambutnya ternyata lebih kriwil dari rambutku. Dan subhanallah ia telah banyak menguasai kosa kata dari pada aku.

“mbak nza, ni edo”. Kata adikku sambil mengulurkan tangan mengajakku berjabat tangan.

Aku bertanya kabar adikku yang lucu dan ganteng tentang keadaanya.

‘Dadek,apa duduk?”. Suara yang keluar dari mulutku

Al hamdulilah adikku mengerti tentang maksud pertanyaanku, hingga kamipun bisa bermain melepaskan rindu hingga fajar menjelang.

Aku melihat bunda meneteskan airmata melihat kami bermain dan bercanda, tapi aku yakin bundaku tidak sedih dengan pertemuan ini. Walau hampir tiap hari ayahku atau bundaku selalu menelponku, rasanya tak sepadan jika dibandingkan dengan pertemuan kita seperti saat ini.

Bunda, aku senang mendengarkan suaramu di telepon, tapi aku tak bisa memberikan isyarat rinduku padamu. Ayahku yang tercinta, maafkan aku yang tak sanggup menjawab panggilan sayangmu padaku. Aku juga ingin mengungkapkan sayangku padamu ayah, dan tentu aku ingin bercerita tentang kegiatanku setiap detik, setiap menit, setiap jam dan setiap hari yang aku lalui tanpa kehadiran ayah bundaku.

Memang aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan dari kakek dan nenek, bahkan jauh sebelum aku memintanya, kakek dan nenek dengan kasih sayangnya memenuhi semua kebutuhanku, tapi tetap saja aku merasa ada yang kurang dengan ketidak hadiran kalian berdua disini bersama Edoku yang ganteng itu.

Bundaku sayang, tataplah mataku, Aku sering sekali bertatap mata dengan bunda. Aku sampaikan padanya tentang betapa rindunya aku dengannya. Aku ingin memeluknya dan mengucapkan betapa aku sayang kepadanya. Tapi lidahku kelu.

“Bunda.. kanza sayang bunda”suara dalam hatiku.

Aku tak mau larut dalam kesedihan, sampai pada akhirnya teman-temanku datang kerumah. Aku bahagia sekali, aku kenalkan mereka dengan adikku.

“Dadek nduk”.suara yang keluar dari bibirku sambil ku tepuk dadaku dengan tanganku

Aku bahagia karena adikku pintar, lincah dan menggemaskan, kata-kataku itu aku maksudkan untuk menggambarkanya betapa aku bangga kepada adikku, aku bangga dengan ayahku dan aku bangga pula dengan bundaku.

Kan, dadek”. Kataku untuk mengajak adikku ke kolam atau empang ikan, aku berjalan dan ku gandeng tangan adikku. Aku tahu betapa bahagianya adikku melihat kolam ikan dengan air yang begitu bening, aku juga tahu di Depok tentu akan sulit menemukan tempat seperti ini.

Semua temanku mengikuti langkah kami dengan penuh heran. Aku yakin pastilah mereka menganggapku aneh, bagaimana mungkin aku yang lambat bicara ini bisa berkomunikasi dengan adikku yang sudah lancar berbicara. Dan tentu saja mereka aneh melihat adikku yang baru 2 tahun tapi sudah pandai bahasa Indonesia, hal yang sangat jarang terjadi dikampung kami, jika ada anak-anak yang bisa bahasa Indonesia, karena pada umumnya mereka berbahasa ibu atau bahasa daerah asal orang tuanya.

Aku ingin tunjukkan kepada teman-temanku, jika aku juga disayang ayah dan bundaku, aku juga disayang adikku sama seperti teman-temanku, aku ingin mereka tahu bahwa aku tidak dibuang oleh orang tuaku, aku tunjukkan bahwa kekuranganku bukan alasan orang tuaku memisahkan aku dengan mereka. Aku ingin….aku ingin….semua emosiku aku luapkan saat itu, seolah menghapus gunjingan orang tua dari teman-temanku tentang aku, tentang ayahku, tentang bundaku.

Tak terasa hari itu waktu sangat cepat berlalu, tiba-tiba saja petang telah menjelang. Ayah dan bundaku berpamitan. Aku sedih sekali, tapi kata bunda liburan bulan juli nanti aku, kakek dan nenekku akan berlibur ke Depok. Senang sekali hatiku mendengarnya.

Tak sabar rasanya menunggu bulan juli.

--------------0O0-------------------


Tidak ada komentar:

Posting Komentar